* Nasaruddin Umar
Kloning (istinsakh) manusia menjadi isu pembicaraan semakin menarik para ulama akhir-akhir ini. Percobaan kloning pada binatang memang telah berhasil dilakukan, seperti kelahiran anak domba (Dolly) yang diujicoba dalam tahun 1996, tikus (1997), sapi (1998), babi (1999), kera (2000), kucing (2001). Awal April lalu dr Severino Antinori, ginekolog dari Italia, mengumumkan keberhasilannya menumbuhkan janin hasil kloning manusia.
Kloning adalah upaya untuk menduplikasi genetik yang sama dari suatu organisme dengan menggantikan inti sel dari sel telur dengan inti sel organisme lain. Kloning pada manusia dilakukan dengan mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya lalu disatukan dengan sel dewasa dari suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim seperti halnya embrio bayi tabung.
Sebagai suatu fenomena baru, kloning melahirkan beberapa pertanyaan mendasar di kalangan ulama. Apakah kloning pada diri manusia dapat dibenarkan? Bagaimana jika kloning dilakukan menggunakan DNA suami yang sah? Dapatkah perempuan menggunakan DNA-nya sendiri? Dapatkah sepasang suami istri menggunakan DNA anak kandungnya sendiri? Atau, apakah kita berhak dan darimana hak itu diperoleh untuk menggunakan DNA sendiri? Bagaimana kalau salah seorang di antara suami istri tidak setuju dengan proses kloning itu?
Kelahiran non-konvensional ini lebih jauh akan berdampak pada sendi-sendi institusi keagamaan yang sudah mapan. Seseorang bisa saja punya anak tanpa istri atau suami. Seseorang cukup memesan sel telur pada sebuah bank sel telur yang mungkin sudah dilengkapi dengan penyedia jasa rahim sewaan. Bagaimana jadinya institusi keluarga dan perkawinan serta konsep-konsep lain yang sudah mapan seperti muhrim, wali, nasab, kewarisan, kekerabatan? Bukankah keluarga dibentuk tidak hanya untuk melahirkan keturunan, tetapi yang lebih penting adalah memberikan perlindungan psikologis terhadap sanak keluarga. Bukankah inti dari sebuah perkawinan untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian?
Institusi perkawinan di samping berfungsi sebagai kontrak sosial ('aqd al-tamlik) yang melahirkan kesadaran dan tanggung jawab sosial antara kedua belah pihak, juga berfungsi sebagai ibadah ('aqd al-'ibadah), karena mendeklarasikan sesuatu yang tadinya haram menjadi boleh dilakukan antara kedua belah pihak sebagai suami-istri. Di dalam Q.S. al-Rum ayat 20 disebutkan: "Dan di antara kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya".
Praktik dan prosedur pelaksanaan kloning dapat diidentifikasi beberapa macam. Pertama kloning dimaksudkan untuk "memproduksi" seorang anak dan yang lainnya mengkloning organ-organ tertentu dari anggota badan untuk keperluan tertentu. Yang pertama mempunyai dua tujuan. Untuk mengupayakan keturunan bagi pasangan yang mandul dengan cara mengkloning DNA dari suaminya yang sah. Serta untuk kepentingan sains dan teknologi semata. Sedang kloning terhadap anggota badan untuk mengganti jaringan sel yang rusak di dalam tubuh.
Pertimbangan teologi
Al Quran mengisyaratkan adanya intervensi manusia di dalam proses reproduksi manusia (Q.S. al-Mukminun/ 22:13-14):
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik
Ayat ini mengisyaratkan unsur manusia ada tiga unsur, yaitu unsur jasad (jasadiyyah), unsur nyawa (nafs), dan unsur roh (ruh) yang dalam ayat ini disebut khalqan akhar. Seseorang baru disebut manusia jika memiliki ketiga unsur ini. Itulah sebabnya sebagian ulama Fikih, terutama di kalangan Hanafiah tidak menganggap dosa besar terhadap aborsi di bawah empat bulan, karena mereka menganggap proses installing roh setelah janin berumur empat bulan atau setelah daging dan kulit membungkus tulang jabang bayi. Sujudnya para malaikat dan makhluk lain kepada Adam setelah Allah meniupkan roh ke dalam diri Adam (wa nafakhtu fihi min ruhi)
Ayat tersebut di atas menggunakan kata tsumma khlaqnakum (kemudian Kami menciptakan manusia), kata ganti dalam bentuk plural, tidak dikatakan: tsumma khalaqtukum (kemudian Aku menciptakan). Dalam kaidah tafsir, sering ditemukan jika Allah Swt menggunakan kata ganti plural untuk dirinya Yang Maha Esa maka biasanya mengisyaratkan adanya keterlibatan pihak lain selain dirinya dalam proses terwujudnya suatu kejadian atau ciptaan.
Dalam proses penciptaan manusia awal (Adam), Tuhan menggunakan kata ganti mufrad (wanafakhtu) ketika meniupkan roh kepada Adam. Akan tetapi, proses reproduksi manusia, Tuhan menggunakan kata ganti jamak (khalaqna). Ini mengisyaratkan kemungkinan adanya intervensi manusia atau unsur-unsur lain di dalam proses perwujudan manusia.
Al Quran juga mengisyaratkan proses reproduksi non-konvensional. Ada manusia tanpa bapak dan tanpa ibu yaitu Adam (Q.S. al-Rahman/ 55:14, ada manusia tanpa ibu yaitu Hawa (Q.S. al-Nisa/4:1), ada manusia tanpa Bapak yaitu Isa (Q.S. Ali'Imran/3:59). Bahkan, di zaman Nabi Shaleh ada unta yang lahir dan keluar dari sela-sela bebatuan tanpa induk dan tanpa pejantan (Q.S.Hud/11:64) dan Nabi Isa mempunyai mukjizat untuk menyembuhkan penyakit cacad permanen dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dua tahun silam. Populasi burung/serangga (thairan ababil) dalam jumlah besar dan dengan seragam membawa batu/vieus lalu menghancurkan pasukan Abrahah (Q.S. al-Fil/ 105:1-5).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan dari sudut proses, kloning dimungkinkan terjadinya, akan tetapi kewenangan dan motif untuk melakukannya masih menjadi perdebatan. Apakah manusia dalam kapasitasnya sebagai pengganti Tuhan (khalifah Allah) berkewenangan melakukan proses itu atau tidak? Kalau sekiranya dimungkinkan, kloning jenis apa saja? Apakah termasuk mengklon dalam arti "memproduksi" manusia baru? Atau hal ini hanya dimungkinkan bagi suatu pasangan yang betul-betul tidak bisa melahirkan anak secara konvensional? Atau kloning hanya dibatasi pada penciptaan sel jaringan tubuh tertentu yang memungkinkan seorang manusia menjadi khalifah dan hamba yang berkualitas? Kesemuanya ini akan dilihat dari sudut pertimbangan moral dan hukum.
Pertimbangan moral
Manusia seutuhnya (bani Adam) sebagai makhluk yang dimuliakan Allah ialah manusia yang sudah memiliki ketiga unsur sebagaimana disebutkan di atas. Pertanyaan kita di sini, apakah manusia yang lahir dari proses kloning juga memiliki roh? Jangan sampai yang terjadi hanya makhluk biologis biasa yang menyerupai manusia, karena dalam Al Quran lain nyawa lain roh. Installing roh ke dalam diri manusia dilakukan sendiri oleh Allah Swt seperti ketika Ia menciptakan Adam.
Kloning Manusia Dalam Perspektif Islam
Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk dan memulikannya atas semua makhluk-Nya (Qs At-Tin (95):4) dan (Qs. Al-Isra’ (17):70). Dari manifestasi pemuliaan inilah Islam tetap menjaga fitrah manusia secara konsisten untuk memelihara dan menjaga kaidah umum yang
Berkenaan dengan keturunan dan reproduksi manusia, Allah menjadikan-dengan hikmah-Nya- perkawinan secara legal (al-jawaz al-syar'i) yang sudah ditetapkan syarat-syarat, batasan-batasan dan aturan-aturannya (Qs Ar-Rum (30) :21). Dari perkawinan yang sah inilah, akan melahirkan anak (keturunan) – melalui hikmah dan kehendak-Nya, yaitu dengan bertemunya air sperma laki-laki (spermatozoa) dan sel telur perempuan (ovum) (Qs. At-Thariq (86) :5-7).
Hukum Syar'i tentang Kloning Janin Manusia
Mayoritas ulama' mengharamkan kloning janin manusia. Mufti Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh mengatakan bahwa hal itu merupakan hal yang sia-sia (al-'abats) dan tidak beretika. Di antara para ulama kontemporer yang mengharamkan hal itu adalah Dr .Nashr Farid Waashil (Mantan Mufti Mesir), Muhammad Sayyid Thanthawiy (Syaikul Azhar sekarang), Prof. Dr.'Ajil al-Nasyamiy, Dr. Sayyid Rizq al-Thawiil, Dr.Ahmad Umar Hasyim (Mantan Rektor Universitas Al-Azhar), Syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Dr.Abdus Shabuur Marzuq, Syaikh Dr.Yusuf Al-Qardhawi, Dr. Ali Mahmud Yusuf al-Muhammadiy, Dr.Mahmud Hamdiy Zaqzuq dan masih banyak lagi ulama-ulama yang lain.
Dalil-dalil Atas Pengharaman Kloning
Para ulama yang mengharamkan kloning janin manusia memiliki beberapa dalil yang menguatkan pendapat mereka, di antaranya:
1. Kloning sangat bertentangan dengan al-qaa'idah al-kulliyah al-khams yang dibawa oleh Islam untuk memelihara eksistensi hidup manusia.
2. Setiap anak manusia yang lahir memiliki satu hubungan kejadian dan keturunan dengan bapaknya-ia berasal dari sperma bapaknya-. Dan memiliki dua hubungan dengan ibunya, yaitu; pertama, hubungan kejadian dan keturunan, dan kedua, hubungan asalnya, yaitu dari sel telur (ovum) ibunya. Abu Bakar Abdullah Abu Zaid mengatakan bahwa air mani (sperma) yang yang dihargai –dianggap mulia- ialah yang berasal dari kedua pasangan-suami istri. Ia (air sperma) merupakan pemberian Allah Swt kepada hamba-Nya (Qs. An-Nahl (16) :78) dan (Qs. Az-Zumar (39) :6).
3. Anak (keturunan) harus berasal dari perkawinan yang sah (al-zawaj al-syar'i) antara suami-istri. Seluruh keadaan yang dintervensi oleh pihak ketiga terhadap hubungan suami-istri (al-'alaaqah al-zaujiyah)-baik itu melalui rahim, sel telur, sperma atau sel tubuh lain yang digunakan dalam proses kloning diharamkan (tidak dibenarkan oleh syari'at).
4. Kloning menjadikan manusia menyalahgunakan kehormatannya-bentuk yang telah diciptakan oleh Allah Swt. Mengubah dan memperburuk serta menyia-nyiakan ciptaan Allah adalah perbuatan syetan yang diperingatkan oleh-Nya agar kita tidak mengikutinya (Qs. An-Nisa (4) :118-119).
5. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dilengkapi dengan insting dan fitrah yang berbeda-beda. Salah satu dari insting tersebut adalah keinginan yang kuat untuk melakukan perkawinan-melalui hubungan seksual secara sah (syar'i)-antara laki-laki dan perempuan untuk dapat mendapatkan keturunan secara sah, sedangkan kloning menyelewengkan dan menghancurkan fitrah ini.
6. Kloning menghancurkan tatanan keluarga yang bangunannya suami-istri, yang telah diikat oleh tali cinta dan kasih-sayang. Sementara itu, kloning menghancurkan bangunan tersebut.
7. Kloning menyalahi identitas seseorang, keistimewaan-kesitimewaan, kepribadiannya serta menipiskan (tatanan) sosial yang stabil. Selain itu, ia juga membongkar-menghancurkan- fondasi keturunan, kerabat, shilaturrahmi, dan eksistensi keluarga yang saling mengikat dalam syari'at Islam.
8. Pengharaman kloning berdasarkan pada kaidah ishuliyah yang berbunyi dar'ul mafaasid muqaddamun 'alaa jalb al-mashaalih (menolak datangnya kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil maslahah/manfaat). Tidak diragukan lagi, bahwa praktek kloning manusia mengandung banyak kemudharatan (bencana), walaupun --sedikit banyaknya-- ada juga manfaatnya.
Qaidah qaidah hukum wajib dijunjung dalam melakukan transpalntasi ini
antaranya :
1. Tidak boleh menghilangkan bahaya dengan menimbulkan bahaya lainnya
artinya :
a. Organ tidak boleh diambil dari orang yang masih memerlukannya;
b. Sumber organ harus memiliki tamlik at-taam/Hurriyatu At-Tasharruf
kepemilikikan penuh) atas organ yang diberikannya, beraqal, baligh, ridlo
dan ikhlas dan tidak mudlarat bagi dirinya.
c. Sumber organ harus suci semisal manusia atau binatang selain babi dan
anjing. (untuk binatang tidak diperlukan izin sebab Allah sudah mengizinkan
manusia untuk memanfatkan binatang dengan cara yang baik)
2. Tindakan tranplantasi mengandung kemungkinan sukses lebih besar dari
kemungkinan gagal.
3. Organ manusia tidak boleh diperjual belikan sebab manusia hanya
memperoleh hak memanfaatkan dan tidak sampai memiliki secara mutlak.
1 komentar:
mm..jadi alasan pengharaman kloning itu sama dengan alasan diharamkannya bank sperma, bukan karena kloning dianggap menyaingi Allah SWT dengan "menciptakan" manusia lain, ya kan?
Posting Komentar