Senin, 03 Desember 2007

Negeri ini hancur karena riba

Dr Salim Segaf Al-Jufri


Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya bunga bank, oleh beberapa kalangan, dinilai memicu keresahan. Alasannya, implikasinya yang tidak sederhana. Tapi tidak bagi DR. Salim Segaf Al-Jufri, pakar syariah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) itu.
Wawasannya yang luas dan sikapnya yang tegas membuat kupasannya tentang riba menjadi cair dan mudah dicerna. Itu tidak lain karena pria yang meraih gelar doktor di bidang Syariah dari Universitas Islam Madinah (1986) ini pernah menulis tesis berjudul Riba dan Dampaknya bagi Masyarakat.

Doktor Salim, demikian akrab disapa, tidak lain adalah Ketua Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di sela - sela kesibukannya yang terbilang padat, kini ia menggarap sebuah penelitian mengenai Kaidah - kaidah Syariah tentang Hubungan Internasional. Rencananya, penelitian ini akan digunakan untuk memenuhi gelar Profesor. Selasa pekan lalu, salah seorang Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) ini meluangkan waktunya untuk menerima wartawan SABILI Eman Mulyatman dan M. Nurkholis Ridwan serta ditemani fotografer Arif Kamaluddin untuk berbincang - bincang tentang Riba dan Fatwa MUI itu. Sayang, harapan Dosen
Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengawas Syariah di beberapa perusahaan agar MUI tetap eksis dengan fatwanya tidak tercapai.
Sebab, MUI dikabarkan menunda fatwa haram bunga bank yang sudah dikeluarkan. Berikut petikannya:

Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) membahas fatwa bunga bank ? Mestinya, sudah lama dikeluarkan. Sebab, haramnya bunga bank itu tidak sekarang. Bahkan kalau kita lihat, negeri ini cukup tertinggal dari negeri Islam lain. Tapi secara umum, masyarakat pun sudah tahu itu haram. Cuma (fatwa) ini skalanya menasional. Mungkin yang tadinya ragu - ragu, makin jelas. Kita salut, dan kita menginginkan tetap konsisten dengan fatwa tersebut. Jangan ada keinginan ditinjau kembali, karena keharamannya sudah jelas. Saya yakin, seluruh yang ada di MUI itu mengetahui bahwa itu haram. Mungkin ada yang mengatakan timing dan sebagainya. Tapi itu bukan alasan untuk menunda keharaman bunga bank konvensional tersebut.

Fatwa MUI menetapkan terbatas, kalau di daerah itu tidak ada bank syariah boleh di Bank Konvensional ? Jadi harus kita bedakan antara fatwa haramnya bunga bank dengan meletakkan uang. Jadi kalau meletakkan uang, saya sependapatlah. Tetapi tetap fatwa haram itu jelas. Karena meletakan uang pun, bentuknya apa? Karena dia butuh aman. Cuma yang penting di sini, bunganya tidak di makan. Bunganya diambil dan digunakan untuk kepentingan umum (semacam membangun jalan, jembatan, dll, red). Kalau begitu, di Jakarta, sudah tidak tepat menaruh uang di Bank Konvensional ? Betul, karena bank syariah tersedia. Tapi dibolehkan dengan alasan untuk kepentingan yang bank syariah belum bisa menghandle. Jadi kita memberi peluang sesuai dengan kebutuhan. Mungkin orang bisnis dalam kondisi tertentu. Mungkin dari segi LC (Letter of credit) dia eksportir, fasilitas tadi belum ada jaringan sehingga mereka menggunakan bank tertentu.

Tapi di luar kebutuhan itu ? Umpamanya di kampungnya ada bank tertentu yang tidak punya fasilitas, mau tidak mau dia harus menggunakan bank konvensional, dia harus menggunakan sistem tadi untuk alat transfer. Jadi agama kita ini memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.

Meski haramnya bunga bank sudah lama diketahui masyarakat, fatwa itu memiliki implikasi yang luas ? Saya melihat hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Semestinya bank - bank konvensional melihat bahwa ini peluang bagi mereka. Bahwa ada masyarakat kita yang tidak menabung di bank konvensional dan memang uangnya disimpan di rumah. Apakah itu tidak merugikan negeri ini. Itu adalah peluang, buat counter syariah. Siapkan SDM, sebanyak mungkin. Kita tidak memaksa mereka untuk mengubah sistem mereka, tetapi pasar ini harus dimanfaatkan. Itulah yang dilakukan Citibank di Bahrain.

Atau ada politisasi?
Jadi memang ada kelompok - kelompok yang tidak mengerti. Itu perlu penjelasan. Tapi ada juga kelompok-kelompok yang melakukan demarketing. Atau ingin melakukan upaya-upaya agar sistem ekonomi Islam itu tidak eksis di negeri ini. Ini yang harus kita lawan. Kalau mereka menangkap ini sebagai peluang maka yang terjadi adalah win - win solution.

Mengapa Islam sedemikian tegas melarang riba?
Hakikat riba itu perbedaan yang mendasar, dengan jual beli. Kalau riba memberikan pinjaman dengan pengembalian disertai bunga. Sebenarnya mengenai riba ini bukan sesuatu yang baru. Sebelum Islam pun, filosof Yunani seperti Socrates itu mengatakan uang tidak melahirkan uang! Untuk itu mereka sudah memahami. Karena untuk orang yang suka riba, selalu mementingkan diri sendiri. Dia taruh uang, dia ambil bunga, orang kelaparan atau tidak, dia tidak mau tahu. Dalam Islam yang diinginkan uang, misalnya 5 milyar itu, dirasakan manfaatnya oleh sekian banyak orang. Bukan untuk pribadi kamu sendiri. Kedua, dalam berbisnis itu ada untung dan rugi. Kalau riba hanya untung saja, sehingga tidak berkembang. Otak buntu. Sehingga di negara yang sudah maju, bunga bank sangat rendah. Di Jepang dan Amerika tidak lebih dari 2% saja. Jadi sangat kecil, karena yang diinginkan untuk investasi.

Tapi nilai uang bisa menyusut karena inflasi?
Itu alasan yang terkuat untuk ekonom. Tapi pada dasarnya orang meminjam itu butuh kita tolong. Orang pinjam itu karena minta dibantu. Riba tidak mengajarkan solidaritas. Yang ada bagaimana uang itu kembali dan untung. Tapi kalau memang dia berniat untuk usaha, kita buka secara Islami.

Anda menulis tesis tentang riba dan bahayanya bagi masyarakat. Sebenarnya, apa dampak buruk riba ? Pertama, dari segi keberkahan, tidak ada berkahnya. Riba itu uang panas. Mengikis habis keberkahan. Sudah terbukti negeri kita ini salah satu sebab kehancurannya karena memakai sistem ekonomi ribawi. Jadi untuk individu sangat merugikan, karena muncul manusia egois. Membuat orang kikir, bakhil dan mementingkan diri sendiri. Untuk masyarakat, tidak ada ukhuwah dan solidaritas. Kemudian berpindahnya uang itu yang dari
fungsinya sebagai alat tukar menjadi komoditi. Ini juga sangat membahayakan.

Riba juga mencakup asuransi, pegadaian ?
Setiap pinjaman yang diiringi tambahan, itu adalah riba. Apakah dilakukan oleh lembaga atau individu.

Kalau kerja di bank konvensional apa hukumnya?
Saya tidak mengharamkan orang yang kerja di bank konvensional. Tapi yang jelas apa yang dia terima pasti ada syubhatnya. Kalau kita bisa mendapatkan yang lebih bersih maka harus kita tinggalkan. Mungkin itu yang bisa kita lakukan.

Kalau mau pindah harus di tempat yang lebih baik. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah saw bersabda, "Akan datang suatu masa, kalau engkau tidak memakan riba engkau akan terkena debunya." Mungkin ada orang yang berusaha tidak menyimpan di bank riba namun ia tak menyadari dari gajinya ada debu riba. Mungkin dari gaji pegawai negeri, semua di bank konvensional. Semua terkena. Sehingga kita tidak merasakan keberkahan dalam kehidupan kita. Itu kondisi yang kita hadapi sekarang.

Kalau skalanya sudah global seperti ini, bagaimana mengatasinya ? Sebenarnya banyak pinjaman-pinjaman tidak perlu. Contohnya, beberapa saat yang lalu ungkapan Kwik Kian Gie untuk apa sampai tiga milyar pinjaman dari ICG. Padahal yang digunakan cuma 1,2 -1,3 milyar. Sisanya justru bunganya menjadi beban bagi kita. Waktu dulu pinjaman dari IMF sebesar 8-10 milyar US$ yang sudah dikembalikan, itu kita simpan saja. Akhirnya bunganya hanya membebani kita. Kita taruh di BI tapi tidak boleh dipakai. Apa itu bukan suatu kebodohan.

Ada makar tertentu?
Mereka ingin agar negeri ini selalu dalam kondisi susah. Sebab kalau orang dalam keadaan miskin dan susah, itu bisa diatur. Padahal Malaysia lebih berani. Pemimpin bangsa ini harus memiliki kecerdasan dan mesti mampu menggalang kekuatan internal dan nasionalisme yang kuat dan solid. Bangga dengan produk kita, bangga dengan negeri kita. Itu harus dibuktikan.

Mungkinkah di negeri kita ini tidak ada lagi praktik riba ? Itu kembali pada masyarakat.

Ada contoh?
Mungkin tetap ada bank konvensional. Kalau saya katakan tidak ada, tidak juga. Sebab, mereka berhak punya. Sebab diperlukan untuk transfer, bank asing pun diizinkan untuk buka di setiap negara. Kalau bank asing ada berarti sistem ribawi ada. Tapi kalau masyarakatnya tidak berkenan untuk meletakkan uang di situ, mereka akan cari peluang, apa yang diinginkan masyarakat. Untuk dihapuskan memang sulit, tapi peluang mereka semakin kecil. Untuk di negeri - negeri tertentu yang tidak berkenan dengan sistem ribawi mereka akan bentuk apa yang diinginkan oleh masyarakat. Bahrain bisa menjadi contoh.

Ada pendapat, terjadi peningkatan nasabah di bank syariah, tapi tidak memancing rush. Alasannya, karena masyarakat sudah sekuler?
Memang masyarakat itu terbagi-bagi, ada yang syariah loyalis. Untuk mereka tidak ada kompromi, dan jumlahnya relatif kecil, mungkin 10%. Yang saya amati, memang ada dua pendapat, kemungkinan sekitar 15-80 trilyun, yang akan dikonversi ke Bank Syariah, dari jumlah tabungan yang ada di bank - bank konvensional. Kemungkinan yang saya amati, tabungan yang ada di bank konvensional itu sekitar 800 trilyun. Yang 10 trilyun itu milik masyarakat, yang 700 trilyun itu dimiliki oleh korporasi. Jadi saya pikir bertahap. Karena yang loyalis tadi ada 10%, maka di 2004 ini ada 10 % yang berpindah.

Atau mereka tidak percaya bank konvensional dan bank syariah belum siap?
Saya tidak yakin, sebab yang membuka bank syariah ini bank kuat juga.

Tapi ada kekhawatiran soal kemampuan bank syariah?
Ini dari kelompok yang tidak memahami atau dari mereka yang tidak suka bank syariah eksis.

Tapi sayangnya mereka berasal dari kalangan Islam?
Saya lihat mereka banyak berinteraksi dengan kelompok yang tidak paham, itulah ungkapan mereka, sehingga mudah terpengaruh. Tapi kalau sudah mendalami, melihat, mungkin akan terjadi perubahan. Sebab direktur bank syariah itu bukan orang baru. Mereka juga lama di bank konvensional. Kedua, bank syariah itu bukan baru setahun dua tahun, kita sudah terlambat. Bank syariah sudah eksis sejak 20 tahun lalu. Dan bank konvensional pun membuka counter syariah. Itu kan bukti.

Ekonomi syariah menjadi jargon dan ikon penerapan syariat Islam. Bagaimana peran MUI ? Kewajiban MUI untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang penerapan syariah di semua lini. Jadi kita tidak mengatakan dari segi ekonomi saja, tapi juga menyangkut akidah. Dulu di masa HAMKA (almarhum Buya HAMKA) luar biasa.

Fatwa ini tidak akan menjadi macan kertas?
Yang penting sudah disampaikan. Sebab MUI tidak punya kekuatan memaksa. Masyarakat punya satu kepastian dan saya harap MUI tetap eksis, tidak mundur.

Harapan Anda?
Saya inginkan kalau ada pendapat pribadi tolong jangan diungkapkan dalam skala nasional, artinya ketika umat sudah memberikan satu sikap. Fatwa MUI itu adalah satu sikap dari sekian banyak mayoritas, jumhur dari ormas Islam, setahu saya ada 60 ormas. Jadi kalau ada pendapat pribadi jangan dibenturkan. Jangan masing-masing menjadi mufti. Saya lihat ada orang - orang yang pengetahuan agamanya dangkal berbicara yang menukik

Tidak ada komentar: