Minggu, 02 Desember 2007

Kewirausahaan Untuk Semua Orang

Enterpreneurship (kewirausahaan), dalam beberapa tahun terakhir menjadi
topik yang makin sering dibicarakan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sejak pertengahan 1997 telah mengajarkan kepada masyarakat bahwa
menggantungkan harapan kepada orang lain atau bekerja pada orang lain
sudah bukan lagi pilihan utama sebagaimana yang selama ini selalu diajarkan
oleh para orang tua kita sejak kita masih kecil. Krisis ekonomi telah
menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa
jutaan pegawai. Angka pengangguran melonjak drastis. Baik mereka yang
menganggur karena belum juga dapat pekerjaan, baru lulus kuliah, maupun
para penganggur baru yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang
bangkrut.
Di sisi lain, krisis ekonomi telah menumbuhkan ''berkah'' berupa lahirnya para
enterpreneur (wirausahawan) baru. Mereka ini adalah orang-orang yang jeli
melihat peluang, dan tak gamang menghadapi kesulitan-kesulitan. Ketika
banyak orang meratapi nasibnya yang malang akibat terkena PHK dan tak juga
dapat pekerjaan, mereka mengarahkan segenap daya dan upaya untuk
menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Mereka menyadari bahwa jalan untuk meraih sukes, kekayaan maupun
kebahagiaan bukanlah dengan menjadi kuli, melainkan menjadi bos bagi diri
sendiri dan orang lain. Mereka menyadari bahwa rezeki itu sebagian besar ada
di tangan pengusaha, bukan di tangan pekerja. Nabi Muhammad pernah
mengatakan bahwa 9 dari 10 kekayaan berada di tangan pedagang, sedangkan
sisanya yang hanya satu bagian itu dibagi-bagi di antara sekian banyak orang
yang lebih memilih menjadi pekerja.
Tingkat wirausaha di Indonesia memang masih rendah bila dibandingkan
dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Rasio kewirausahaan
dibandingkan penduduk di Indonesia hanya 1:83 sedangkan di Filipina 1:66,
Jepang 1:25 bahkan Korea kurang dari 20. Berdasarkan ratio secara
internasional, ratio ideal adalah 1:20.
2
Di Indonesia, gerakan kewirausahaan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1995.
Pemerintah melalui INPRES No. 4 tahun 1995 mencanangkan sebuah Gerakan
Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK).
Tujuannya adalah menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, di
masyarakat baik kalangan dunia usaha, pendidikan maupun aparatur
pemerintah.
Namun dalam perjalanannya, gerakan tersebut kurang mendapat dukungan.
Memang ketika itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tinggi dan dukungan
kepada pembentukan wirausahawan baru serta UKM hanya bersifat politis.
Meski banyak seminar, rakor, lokakarya diadakan, namun pada akhirnya Inpres
tersebut tidak lebih sekedar retorika dan tidak terinternalisasikan dalam
program di instansi-instansi pemerintah baik bidang permodalan, perijinan,
pemasaran, teknis, dan lain-lain.
Kewirausahaan Adalah Untuk Semua Orang
Ada banyak alasan untuk mengatakan hal itu. Pertama, setiap orang memiliki
cita-cita, impian, atau sekurang-kurangnya harapan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya sebagai manusia. Hal ini merupakan semacam "intuisi" yang
mendorong manusia normal untuk bekerja dan berusaha. "Intuisi" ini berkaitan
dengan salah satu potensi kemanusiaan, yakni daya imajinasi kreatif.
Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi daya imajinasi
kreatif, maka ia dapat menggunakannya untuk berpikir. Pikiran itu dapat
diarahkan ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan berpikir, ia dapat
mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting seperti:
Dari manakah aku berasal? Dimanakah aku saat ini? Dan kemanakah aku akan
pergi? Serta apakah yang akan aku wariskan kepada dunia ini?
Menelusuri sejarah pribadi di masa lalu dapat memberikan gambaran
mengenai kekuatan dan kelemahan seseorang. Di dalamnya terdapat sejumlah
pengalaman hidup, hambatan dan kesulitan yang pernah kita hadapi dan
bagaimana kita mengatasinya, kegagalan dan keberhasilan, kesenangan dan
keperihan, dan lain sebagainya. Namun, karena semuanya sudah berlalu,
maka tidak banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mengubah semua itu. Kita
harus menerimanya dan memberinya makna yang tepat serta meletakkannya
dalam suatu perspektif masa kini dan masa depan.
3
Masa kini menceritakan situasi nyata dimana kita berada, apa yang telah kita
miliki, apa yang belum kita miliki, apa yang kita nikmati dan apa yang belum
dapat kita nikmati, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dan apa
yang menjadi hak asasi kita sebagai manusia, dan lain sebagainya. Dengan
menyadari keberadaan kita saat ini, kita dapat bersyukur atau mengeluh, kita
dapat berpuas diri atau menentukan sasaran berikutnya, dan seterusnya.
Masa depan memberikan harapan, paling tidak demikianlah seharusnya bagi
mereka yang beriman. Bila kita memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan,
dan masih berada pada situasi dan kondisi yang belum sesuai dengan cita-cita
atau impian kita, maka adalah wajar jika kita mengharapkan masa depan yang
lebih baik, lebih cerah, lebih menyenangkan. Sebab selama masih ada hari
esok, segala kemungkinan masih tetap terbuka lebar.
Jelas bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan bertalian langsung dengan
daya imajinasi kita. Dan di dalam masa-masa itulah segala hambatan
(obstacle), kesulitan (hardship), dan kesenangan atau suka cita (very
rewarding life) bercampur baur jadi satu. Sehingga, jika Poppy King,
wirausaha muda dari Australia mengatakan bahwa ketiga hal itulah yang
dihadapi oleh seorang wirausaha dalam bidang apapun, maka bukankah itu
berarti bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang? Siapakah manusia di
muka bumi ini yang tidak pernah menghadapi hambatan dan kesulitan untuk
mencapai cita-cita dan impiannya?
Kedua, kewirausahaan itu pada dasarnya untuk semua orang karena hal itu
dapat dipelajari. Peter F. Drucker, misalnya, pernah menulis dalam
Innovation and Entrepreneurship bahwa, "Setiap orang yang memiliki
keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan
berperilaku seperti wirausaha. Sebab kewirausahaan lebih merupakan
perilaku daripada gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep
dan teori, bukan pada intuisi". Dan perilaku, konsep, dan teori merupakan
hal-hal yang dapat dipelajari oleh siapapun juga. Sepanjang kita bersedia
membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi
wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada
hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak selalu
berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat
dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja, maka belajar
berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja.
4
Ketiga, fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa para wirausaha yang
paling berhasil sekalipun pada dasarnya adalah manusia biasa. Sabeer Bathia,
seorang digital entrepreneur yang meluncurkan hotmail.com tanggal 4 Juli
1996, baru menyadari hal ini setelah ia berguru kepada orang-orang seperti
Steve Jobs, penemu komputer pribadi (Apple). Dan kesadaran itu membuatnya
cukup percaya diri ketika menetapkan harga penemuannya senilai US$400 juta
kepada Bill Gates, pemilik Microsoft, yang juga manusia biasa.
Keempat, kiat-kiat sukses yang dimiliki wirausaha sukses pada dasarnya
sangat sederhana. Tidak memerlukan orang yang luar biasa, tetapi semua
orang dapat melakukannya. Kiat-kiat tersebut adalah:
1. Digerakkan oleh ide dan impian
2. Lebih mengandalkan kreativitas
3. Menunjukkan keberanian
4. Percaya pada hoki, tapi lebih percaya pada usaha nyata
5. Melihat masalah sebagai peluang
6. Memilih usaha sesuai hobi dan minat
7. Mulai dengan modal seadanya
8. Senang mencoba hal baru
9. Selalu bangkit dari kegagalan
10. Tak mengandalkan gelar akademis
Kelima, kewirausahaan mengarahkan orang kepada kepemimpinan. Dan
kepemimpinan adalah untuk semua orang.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa kewirausahaan adalah untuk semua
orang. Pandangan yang diyakini sebagian orang Indonesia bahwa hanya orang
yang berdarah Tionghoa saja yang dapat sukses berwirausaha tidaklah benar.
Sebab dengan demikian bagaimana menjelaskan keberhasilan orang Aceh,
Batak, Minangkabau, Lampung, Sulawesi, Lombok, dan pribumi lainnya yang
juga sukses berwirausaha?
Teori Max Weber yang menempatkan kaum protestan sebagai wirausaha ulung
tanpa tanding juga tidak sepenuhnya benar. Sebab bagaimana menjelaskan
keberhasilan wirausaha-wirausaha di wilayah Asia dan Timur Tengah yang
bukan protestan? Bukankah keberhasilan Taiwan dan Singapura oleh Lee Tenghui
dan Lee Kuan Yew dinyatakan sebagai "dampak" etika konfusianisme?
5
Kehidupan Rasululah SAW sebelum menjadi nabi, sungguh tepat dijadikan
teladan. Ketika itu, beliau adalah seorang pedagang dengan kombinasi
semangat kejujuran dan keadilan yang digambarkan empat sifat mulia
Muhammad SAW; yakni shidiq, amanah, tabliq dan fathonah. Berbekal
semangat kejujuran dan keadilan itu, Muhammad SAW membangun
kewirausahaannya. Hampir semua pelosok Kota Makkah pernah disinggahinya
sekaligus membangun relationship dengan rekan bisnisnya yang kesemuanya
mencatat kesuksesan. Hal itu terlengkapi dengan kehadiran Siti Khadijah
sebagai istri beliau, di mana Siti Khadijah merupakan pengusaha yang sukses.
Semangat kewirausahaan dalam kalangan muslim juga terlihat dari pepatah
bahasa Arab "Inna al-samaa la tumtiru dhahaban wa la fidhatan" di mana
diartikan langit tidak menurunkan hujan emas dan perak, tetapi perlu dengan
semangat kerja yang tidak mengenal lelah. Atau kata bijak yang bisa
diimplementasikan ke kehidupan yang nyata "isy ka annaka ta'isyu abada" atau
"i'mal lid dunyyaka kaannaka ta'isyu abada". Di mana artinya adalah
"bekerjalah bagi duniamu seakan-akan kamu hidup abadi" yang menunjukkan
kepada semua orang bahwa etos kerja orang muslim sangat bisa untuk
diandalkan.
Seorang wirausaha harus tetap memperhatikan beberapa paradigma
kewirausahaan yang berkembang:
1. Seorang wirausaha harus mampu memprediksi kemungkinan dimasa
mendatang. Sebab, entrepreneur itu harus sarat ide-ide, seolah hanya
melihat peluang dan kepuasan pelanggan. Sedangkan eksekutif, adalah
seorang yang senantiasa menyelesaikan masalah yang timbul di
perusahaan.
2. Fleksibilitas dari sang wirausaha. Seorang entrepreneur harus bisa cepat
menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja maupun lingkungan usaha.
3. Rule of the game, harus dinamis dalam mengantisipasi sebagal macam
kemungkinan sebagai kemampuan mengubah aturan main. Hal ini
berkaitan erat dengan inovasi atau penciptaan hal-hal baru dalam
berbisnis.
4. Kemampuan melanjutkan perubahan dari aturan atau bentuk yang telah
ada sebelumnya. Inovasi yang dibuat dalam beberapa masa ke depan akan
selalu tertinggal. Kemampuan memperbaharui produk dan aturan main
inilah yang dapat membuat seorang wirausaha menjadi superior.
6
Penutup
Melahirkan wirausaha baru tidaklah sederhana, lebih mudah diucapkan
ketimbang dilaksanakan. Sehingga perlu ada persiapan dari segi pendidikan,
regulasi, sumber daya manusia serta pembiayaan yang selalu menjadi
masalah. Wirausaha baru memang bisa lahir dengan sendirinya tapi jumlahnya
kecil. Perlu ada penanganan terpadu sehingga menghasilkan wirausaha yang
berkualitas dan jumlahnya signifikan.
Kewirausahaan hendaknya jangan dipahami hanya sekedar kemampuan
membuka usaha sendiri. Namun lebih dari itu, kewirausahaan haruslah
dimaknai sebagai momentum untuk mengubah mentalitas, pola pikir dan
perubahan sosial budaya.
Prinsip-prinsip dasar yang ada dalam kewirausahaan itu, antara lain,
bagaimana membangun karakter yang tangguh, kreatif, inovatif, cerdas,
mandiri, produktif dan mampu memanfaatkan peluang atau sumberdaya yang
ada. Karenanya, dengan pengertian yang luas itu, maka pengembangan
budaya kewirausahaan mestinya mencakup lintas bidang, bukan bisnis atau
usaha belaka.
Generasi muda hendaknya didorong untuk mampu mengubah mentalitas dan
standar berpikir mereka. Selama ini, yang tampak di permukaan adalah
fenomena 'generasi instan'. Banyak anak-anak muda yang bermimpi cepat
sukses, kaya dan terkenal. Hal itu dapat dibuktikan dari maraknya berbagai
ajang adu bakat menjadi penyanyi atau artis yang selalu diserbu ribuan
peminat.
Dalam kondisi bangsa yang lemah dalam berbagai aspek, kita tidak
membutuhkan banyak penghibur saja. Kita ingin lahir banyak generasi baru
yang jago dalam inovasi dan aplikasi teknologi untuk mampu mengelola
sumberdaya yang berlimpah di negeri ini. Dengan demikian dapat mengurangi,
syukur-syukur, menghilangkan, ketergantungan kita kepada bangsa lain.
Sayangnya dalam konteks kewirausahaan pun yang banyak berkembang adalah
konsep yang digulirkan oleh ilmuwan barat penganut kapitalisme.
Keberhasilan diukur dari pencapaian nilai nominal, indikator materi atau
akumulasi benda yang didapatkan semata. Konsep David Mc Cleland, misalnya,
menyebutkan untuk mencapai prestasi, orang mesti mengoptimalkan kadar
7
need of achievement setinggi mungkin dan mengorbankan kadar silaturahmi
atau keinginan membangun harmoni sosial (need of affiliation).
Mestinya keinginan untuk mandiri, itikad untuk mencari solusi atas
problematika yang ada adalah bagian dalam perjuangan hidup yang bernilai
ibadah. Karena bermotif ibadah, maka apapun yang kita lakukan menuju
keberhasilan haruslah mengikuti nilai-nilai syariat, etika dan moralitas.
Perjuangan membangun kualitas diri dilakukan agar tiap pribadi mampu
berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak.
Oleh karenanya, dalam program pengembangan budaya kewirausahaan kita
mestinya mampu membangun transformasi atas wacana ilmu yang
berkembang. Memang, tidak semua gagasan yang dikembangkan dari barat
selalu buruk. Ada juga beberapa prinsi-prinsip yang layak kita kembangkan.
Misalnya tentang kaidah-kaidah profesionalisme, mobilitas, keterbukaan,
kedisiplinan dan pencapaian kemajuan teknologi. Namun dalam beberapa
aspek substansi pemikiran hendaknya kita memperkuat diri dengan prinsipprinsip
yang amat lengkap tertuang dalam Alquran dan Sunah Rasul.
-----ooo0ooo-----

Tidak ada komentar: